|
Demonstrasi rakyat Bolivia |
Mahkamah Konstitusi Plurinasional Bolivia (TCP), pada hari Selasa (26/5) atau Rabu (27/5) waktu Indonesia menolak usulan pembatalan pelaksanaan pemilihan umum yang diajukan oleh rezim de fakto hasil kudeta militer. Selanjutnya, pihak TCP mengharuskan kepada pihak berwenang Bolivia untuk mengadakan pemilu pada tanggal 3 Agustus 2020 mendatang. Artinya, keputusan pelaksanaan pemilu ini sendiri diundur beberapa minggu, yang seyogyanya dilaksanakan pada tanggal 26 Juli.
Demonstrasi besar-besaran terus berlangsung di Bolivia sejak tanggal 1 Mei lalu, yakni ketika pihak pemerintahan militer menyatakan menunda pelaksanaan pemilu dengan alasan wabah virus corona. Meskipun di bawah ancaman wabah virus, rakyat Bolivia, khususnya dari kalangan petani secara terus-menerus melakukan perlawanan menentang rezim hasil kudeta militer. Dan, protes rakyat tersebut masih terus terjadi hingga hari ini.
Perlawanan rakyat Bolivia kian menguat, apalagi beberapa hari lalu, pihak militer mengerahkan pasukannya untuk mengepung gedung Parlemen dengan tujuan menekan dan mengancam anggota Parlemen agar mengeluarkan resolusi mengenai penundaan pelaksanaan pemilu. Namun, Parlemen Nasional (DPR), yang anggotanya adalah mayoritas pendukung presiden terguling, Evo Morales, tidak terpengaruh dengan show of force militer tersebut.
Dalam pemilu nanti, rakyat Bolivia akan memilih presiden dan wakil presiden, serta deputi (Dewan Perwakilan Daerah) dan anggota DPR. Ini akan menjadi momen yang menentukan bagi kelangsungan masa depan rakyat Bolivia dan gerakan sosialis di negara tersebut.
Sebagaimana diketahui, setelah pembatalan hasil pemilu pada tanggal 20 Oktober 2019 lalu, negeri yang kaya akan timah hitam terbesar di dunia itu berada di bawah cengkeraman kekuasaan militer. Presiden terpilih saat itu, yakni Evo Morales harus melarikan diri ke Mexico sebelum akhirnya meminta suaka politik ke Argentina. Saat itu, Evo Morales harus bersaing dengan 9 pasangan capres-cawapres untuk periode 2019-2024, yakni:
1. Evo Morales dari Gerakan Sosialis (incumbent)
2. Carlos Mesa (Komite Kewarganegaraan)
3. Carlos Oscar Ortiz Antelo (Aliansi Bolivia)
4. Chi Hyun Chung (Partai Kristen Demokrat)
5. Virginio Lema (Gerakan Nasionalis Revolusioner)
6. Felix Patzi (Gerakan Sistem Ketiga)
7. Ruth Nina (Partai Aksi Nasional Bolivia dan Persatuan Perempuan)
8. Victor Hugo Cardenas (Persatuan Solidaritas Sipil)
9. Israel Rodriguez (Front untuk Kejayaan)
Selanjutnya, pada tanggal 25 Oktober 2019, pihak Mahkamah Agung (Tribunal Supremo) memutuskan bahwa Evo Morales sebagai pemenang dalam Pilpres. Evo berhasil menyingkirkan 8 capres lain dengan perolehan suara 47,07 persen. Posisi nomer 2 adalah capres neo-liberal, yakni Carlos Mesa dengan perolehan suara lebih dari 36 persen. Terdapat selisih suara lebih dari 10 persen. Meskipun hanya memperoleh 47 persen, Evo Morales dinyatakan menang mengingat Konstitusi Bolivia mengatur bahwa bila terdapat selisih suara lebih dari 10 persen antara pemenang 1 dan 2, maka secara otomatis, pemenangnya adalah yang berada di posisi pertama. Dengan demikian, tidak berlanjut pada putaran kedua.
Menanggapi keputusan Mahkamah Agung tersebut, pihak capres (Carlos Mesa dan Luiz Fernando) yang kalah merasa tidak terima dan menuduh adanya kecurangan. Ketidakpuasan kedua capres tersebut kemudian diungkapkan dengan cara memobilisasi massa. Keduanya juga dikenal sebagai pengusung isu neoliberalisme dan rasialisme. Terkait dengan rasialisme, Bolivia memiliki sejarah yang buruk. Setidaknya, ada dua golongan masyarakat di sana, yakni golongan penduduk pribumi (indian) dan penduduk keturunan Eropa. Dalam kasus rasialisme, penduduk pribumi sering menjadi korban tindak kekerasan.
Di bawah tondongan senjata militer dan guna menghindari jatuh korban, akhirnya Presiden Evo Morales menyatakan mengundurkan diri pada tanggal 10 November 2019.
Dihaturkan dari status FB VA Safi'i