|
Takbir Assoo |
Oleh: Takhbir ASSO, SH
SELURUH PEJUANG PAPUA HARUS BELAJAR DARI KEJELEKAN PENGKHIANATAN KAUM INTELEKTUAL INDONESIA: PERSPEKTIF KEBUDAYAAN.
Tidak selalu mudah memasukkan seorang intelektual ke dalam kategori
pengkhianat ataupun pahlawan. Sistem nilai dan kondisi politiko-kultural
dalam sebuah masyarakat perlu dipertimbangkan untuk menilai posisi
seseorang dalam konteks sejarah tertentu. Pada umumnya pengkhianatan
intelektual itu terjadi manakala bersinggungan dengan kekuasaan.
Sekiranya filosuf Martin Heidegger (1889-1976) tidak segera mengundurkan
diri sebagai rektor Universitas Freiburg pada 1934, padahal dia baru
saja diangkat pada 1933, barangkali cap sebagai pengkhianat mungkin
dapat dibenarkan. Bukankah filosuf ini semula dengan penuh semangat
mendukung rejim Nazi di bawah kepemimpinan Adolf Hitler? Akibat dukungan
ini, Heidegger masih dilarang mengajar selama beberapa tahun pasca PD
(Perang Dunia) II, gara-gara keterlibatannya dalam politik, sekalipun
hanya sebentar.[2] Tetapi sebagai seorang filosuf yang jelas
intelektual, sikap mendukung sebuah rejim fasistik ekspansif yang
dikutuk seluruh dunia beradab sampai hari ini, memang patut
dipertanyakan.
Kasus lain yang lebih ringan berkaitan dengan
masalah kebudayaan politik Indonesia, adalah sikap HB Jassin, Wiratmo
Sukito, dan Trisno Sumardjo yang mohon bimbingan dan petunjuk kepada
Presiden Soekarno dalam upaya mereka untuk menyempurnakan pengembangan
kebudayaan nasional atas dasar filosofi Pancasila dengan haluan
Manipol-Usdek,[3] merupakan sebuah pengkhianatan intelektual atau
keterpaksaan manusiawi pada saat pendukung Manifes Kebudayaan sedang
diganyang habis-habisan oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), di mana
Pramudya Ananta Toer sebagai salah seorang tokoh utamanya? Jika orang
memakai kacamata hitam putih, atau penganut idealisme mutlak, bisa saja
sikap ketiga tokoh ini adalah sebuah pelacuran. Tetapi dunia bukanlah
hitam-putih, sehingga sebuah tingkat kearifan tertentu sangat diperlukan
sebelum orang memberikan penilaian yang konklusif terhadap sebuah
fenomenon manusia. Dengan sedikit pendahuluan ini, saya ingin mencoba
menelusuri jejak-jejak kebudayaan politik Indonesia kontempoter untuk
melihat sampai di mana dan apa akibatnya jika pengkhianatan kaum
intelektual itu benar-benar terjadi.
Intelektual modern
Indonesia: antara pengkhianat dan pahlawan Terlebih dulu saya akan
memberikan batasan yang longgar kepada sosok siapa yang dapat
dikategorikan sebagai kaum intelektual. Definisi yang kaku dan ketat
tidak perlu, sebab hanyalah akan mempersempit ruang analisis kita. Benda
misalnya menghubungkan kaum intelektual itu tidak saja kepada para
pendeta yang pandai menulis, kepada kelompok terpelajar Perancis pada
saat karyanya La Trahison des Clercs diterbitkan pada 1927 untuk
membedakannya dengan golongan awam. Dalam kamus Bahasa Perancis,
perkataan Clercs memang tidak saja mengandung makna rohaniawan, tetapi
juga berarti orang terpelajar (learned man) atau sarjana (scholar) pada
umumnya.
Yang dimaksudkan Benda dengan kaum intelektual tentu bukan
golongan terpelajar biasa, sebab nama-nama besar seperti Descrates,
Vico, Spinoza, Renan, Hegel, Goethe, Nietzsche, dan banyak yang lain
dalam sejarah modern Eropa disebut dalam halaman-halaman karya La
Trahison di atas. Untuk Indonesia, kita dapat pula memasukkan sebagian
besar tokoh pergerakan nasional sejak permulaan abad ke-20 sampai
proklamasi 1945 ke dalam golongan intelektual-aktivis, karena kondisi
masyarakat terjajah telah "memaksa" mereka tampil sebagai aktivis, demi
kemerdekaan bangsa.
Rata-rata mereka menguasai beberapa bahasa
asing, sehingga akses untuk literatur dunia sangat memungkinkan untuk
tampil sebagai kaum intelektual yang berbobot dengan wawasan yang sangat
luas. Dalam pada itu patut pula dicatat dari Benda adalah penekanannya
tentang moral seorang pemimpin yang harus menyatu dalam diri seorang
intelektual, bukan hanya mengandalkan ilmu pengetahuan. Dari sisi ini
terasa ada nilai universal yang harus diakui dan dipedomani bersama.
Dengan kaca mata moral inilah kita dapat mengatakan apakah seorang
intelektual berkhianat, tertipu, terpaksa, naif, atau tidak faham medan
pergumulan sehingga salah mengambil langkah, misalnya.
Kemudian atribut
lain yang perlu ditambahkan bagi seorang intelektual , disamping
terpelajar, dia harus mempunyai kepekaan dan komitmen terhadap
masalah-masalah besar yang menyangkut manusia dan kemanusiaan, tanpa
diskriminasi. Dalam ungkapan lain, hati nuraninya harus hidup, peka, dan
berfungsi prima. Sekalipun dia misalnya seorang warga suatu negara,
wawasan kemanusiaannya haruslah mondial, tidak dibatasi oleh
dinding-dinding politik sebuah bangsa dan negara tertentu. Dengan
demikian seorang intelektual sejati dalam perspektif ini tidak mungkin
menganut faham "right or wrong is my country."
Dalam masalah ini
memang bisa terjadi benturan dengan kaum nasionalis yang menjadikan
nasionalisme sebagai sebuah ideologi negara-bangsa, bahkan sebagai
agama: hidup mati untuk tanah air. Dalam masalah ini terdapat perbedaan
yang mendasar antara H.A. Salim dengan Soekarno pada tahun 1920-an.
Soekarno pernah menulis: "Maka tidak lebih dari wajibmu apabila kamu
memperhambakan, memperbudakkan dirimu kepada Ibu Indonesia, menjadi
putra yang mengikhlaskan setiamu kepadanya."
Bagi Salim kalimat semacam
ini sudah melampaui batas, sebab ". Atas nama tanah air . bangsa
Perancis dengan gembira melanjutkan Lodewijk XIV, penganiaya dan
pengisap darah rakyat itu, menyerang, merusak, membinasakan negeri orang
dan rakyat bangsa orang, sesamanya manusia."[7] Salim menekankan bahwa
"Cinta kepada tanah air, agama, karena Allah Ta'ala dan menuruti
perintah Allah belaka."[8] Dengan bingkai ini, menurut Salim,
nasionalisme dapat dikawal oleh prinsip-prinsip moral transnedental agar
tidak menjadi berhala dan imperialistik.
Untuk sejarah modern
Indonesia, saya ingin mengusulkan Hatta sebagai puncak
intelektual-aktivis yang tetap menjaga martabat dan kualitas moralnya
sampai ke liang lahat. Tokoh-tokoh lain seperti Salim, Soekirman,
Natsir, Tan Malaka, Sjahrir, Wilopo, Kasimo, Mononutu, Roem,
Soedjatmoko, Herman Johanes, Palar, dan sederet nama lain yang menyusul
sesudahnya.
Sepengetahuan saya, Hatta hanyalah dinilai cacat oleh
kaum komunis Indonesia, sebab alat nilai mereka semata-mata kacamata
politik kekuasaan. Hatta dianggap tokoh penghalang terbesar bagi
pencapaian tujuan politik mereka di Indonesia. Pertanyaan yang cukup
rumit kemudian adalah: bagaimana bung Karno, Ali Sastroamidjojo,
Leimena, Idham Chalid, Subandrio, dan para pemberi legitimasi terhadap
sistem DT (Demokrasi Terpimpin 1959-1966) yang membunuh kebebasan
manusia, sesuatu yang mutlak bagi kaum intelektual? Bukan saja telah
membunuh kebebasan manusia, tetapi telah menyeret Indonesia menjadi
sebuah negara terkucil dan tidak bebas lagi dalam menentukan arah
politik luar negerinya.
Bagaimana pula D.N. Aidit, Lukman, dan Njoto yang
mengagungkan negara asing karena seideologi? Poros Jakarta-Beijing yang
sangat populer pada era itu, apakah bukan sebuah pengkhianatan terhadap
doktrin politik luar negeri bebas-aktif Indonesia? Kalau di kalangan
budayawan dan seniman seperti Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang,
dan sekompi nama lain, siapa mereka bila diukur dalam bingkai moral
kemanusiaan? Apakah dari segi moral, menjadikan sastra sebagai
tunggangan politik dapat dibenarkan? Kemudian mereka juga tega
menyaksikan nyawa manusia yang belum tentu bersalah akan binasa dalam
tragedi 1 Oktober yang didahului oleh isu kudeta DD (Dewan Djenderal)?
Tindakan pre-emptive strike, di mata Aidit, perlu dilakukan, demi
menyelamatkan revolusi yang tak kunjung selesai dengan membunuh lebih
dulu para jenderal Angkatan Darat. Penelitian terakhir yang lebih detail
berangkali akan semakin menyingkapkan tabir misteri tragedi berdarah
itu. Karya Victor M. Fic sangat rinci menggambarkan peran PKI di bawah
pimpinan Aidit dalam tragedi berdarah itu. Fic menggunakan dua istilah
untuk Aidit sebagai progenitor (otak utama, nenek motang) dan the
ruthless promoter (pelopor yang kejam) dari kudeta komunis yang gagal
itu. Adapun kemudia Orde Baru menzalimi mereka dengan anak cucunya
adalah perkara lain yang tidak boleh mengaburkan fakta di lapangan,
sekalipun hasil penelitian Fic masih perlu dikaji ulang.
Untuk
Bung Karno khususnya, saya tidak bisa mengatakan bahwa dia sebagai
intelektual-aktivis telah mengkhianati negara yang didirikannya dengan
susah payah. Betapa pun banyak kritik yang dialamatkan kepadanya,
kesalahan politiknya masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan jasanya
yang luar biasa terhadap Indonesia. Konsep nation and character building
berasal dari teori dan karyanya. Ada pun tuduhan tentang perannya dalam
tragedi 1 Oktober 1965 yang membunuh beberapa jenderal dan perwira
A.D., perlu diteliti secara cermat dan objektif berdasarkan
dokumen-dokumen yang tersedia. Ini penting sekali, agar masyarakat tidak
terus berada dalam tanda tanya tentang masalah krusial itu. Sekiranya
Bung Karno memang sudah tahu sebelumnya bahwa akan terjadi pembunuhan
itu, dan ia tidak berupaya mencegahnya karena termakan isu DD, maka dari
sisi moral kita sangat-sangat menyayangkan.
Sebagai manusia biasa, demi
mempertahankan kekuasaan, Bung Karno bukanlah bebas dari kesalahan yang
ternyata berakibat sangat fatal bagi bangsa ini secara keseluruhan.
Dalam buku peringatan 100 tahun Bung Karno, saya menulis tentang sikap
yang terbaik dalam menilai pemimpin yang sudah wafat:
Bagaimana
sikap kita yang terbaik dalam menilai para pemimpin yang telah tiada?
Menurut hemat saya, sikap yang terbaik adalah menghargai kebaikan dan
jasa-jasa mereka dan kemudian menilai secara objektif kelemahan dan
kekurangan mereka untuk dijadikan cermin.
Betapa pun hebatnya seorang
pemimpin, pikiran dan gagasannya pasti terikat dengan ruang dan waktu.
Oleh sebab itu, kita wajib mengembangkan sikap kritis tetapi tulus
terhadap pikiran, ide, dan doktrin siapapun, termasuk mereka yang kita
kagumi. Hanya dengan cara inilah sebuah bangsa dapat meraih tingkat
kedewasaan spritual dan intelektual. Kultus individu yang kadang-kadang
masih muncul juga ke permukaan sejarah modern Indonesia adalah pertanda
ketidakpercayaan diri.
Dari sudut pandangan agama, kultus individu
pastilah menjurus kepada terbuatan syirik yang dimurkai Allah. Tetapi
beberapa jam sebelum pembantaian pimpinan AD itu terjadi, sekitar jam
23:00 tanggal 30 September 1965 di depan Musyawarah Teknik di Senayan,
Bung Karno melalui perlambang cerita Mahabarata dalam perwayangan
berkata:
Ini cerita Mahabarata. Ada pertentangan yang hebat antara
dua negara, negara Hastina dan negara milik Pandawa. Dus negara-negara
ini konflik hebat. Tetapi orang-orang di Hastina, atau lebih tegas lagi
pemimpin-pemimpin di Hastina, panglima-panglima di Hastina itu
sebetulnya masih keluaga daripada pemimpin-pemimpin dan
panglima-panglima di Pandawa. Jadi masih saudara satu sama lain.
Arjuna yang harus mempertahankan negara Pandawa, yang harus terus
bertempur dengan orang-orang Hastina, Arjuna berat dia punya hati.
Karena dia melihat di barisan tentara Hastina itu banyak ipar-iparnya
sendiri. Ipar-ipar, oleh karena Arjuna itu isterinya banyak lo. Banyak
ipar-iparnya sendiri, banyak ia punya keponakan-keponakan sendiri,
banyak ia punya om-om sendiri, banyak ia punya tante-tante sendiri. Lo,
memang di sana pun ada wanita yang berjuang, Saudara! Bahkan guru dia
adalah di sana itu, guru peperangan, yaitu Durna, ada di sana. Arjuna
lemas, lemas, lemas. Bagaimana aku harus membunuh saudaraku sendiri,
bagaimana aku harus membunuh kawan lamaku sendiri, bagaimana aku harus
membunuh guruku sendiri, bagaimana aku harus membunuh sekandung sendiri?
Karena Suryaputra itu sebetulnya, ya keluar sama-sama dari satu ibu.
Bagaimana aku harus membunuh iparku sendiri? Arjuna lemas. Kresna
memberi ingat kepadanya. Arjuna, engkau ini ksatria. Apa tugas ksatria?
Tugas ksatria adalah berjuang. Tugas ksatria adalah bertempur, kalau
perlu. Tugas ksatria adalah menyelamatkan, mempertahankan tanah airnya.
Ini adalah tugas kesatria. Ya benar, di sana engkau punya saudara
sendiri, engkau punya ipar sendiri, engkau punya om sendiri, engkau
punya tante sendiri, engakau punya guru sendiri di sana, tetapi jangan
lupa tugasmu sebagai kesatria. Kerjakan engkaupunya kewajiban sebagai
kesatria. Karmane, fadikaraste, mapalesyu, kadatyana. Kerjakan engkau
punya kewajiban, tanpa menghitung-hitung untuk atau rugi.
Kewajibanmu, kerjakan! Dahsyat bukan! Terkesan akan terjadi sesuatu yang
luar biasa di Indonesia, sesuatu yang sudah diisyaratkan Subandrio jauh
sebelumnya, seperti yang akan saya kutip sebentar lagi. Kemudian
nama-nama Ali Satroamodjojo, Leimena, Idham Chalid, Soebandrio, dan
lain-lain, pada masa DT hanyalah dalam posisi pengiring belaka dalam
gerak kompetisi manipolis yang menguasai panggung politik Indonesia di
era itu. Saya belum punya bukti bahwa tiga nama pertama sudah tahu bahwa
akan berlaku pembunuhan keji pada 1 Oktober itu. Soebandrio boleh jadi
sudah tahu sebelumnya bahwa peristiwa berdarah itu akan berlaku
berdasarkan laporan harian Duta Masyarakat, sembilan bulan sebelum
tragedi:
"Wakil PM/Menlu Dr. Subandrio mengatakan bahwa dalam tahun
1965 ini mungkin akan terjadi, di mana kawan-kawan seperjuangan akan
menjadi lawan, apa yang sekarang revolusioner akan menjadi kontra
revolusi dan reaksioner. Kita mungkin akan terpaksa berpisah dengan
sahabat-sahabat pribadi dan 'comrades in arms'. Menghadapi kemungkinan
ini, kita sebagai manusia sudah barang tentu merasa sedih. Akan tetapi
sebagai abdi revolusi kita tidak bisa berbuat lain, hal ini terpaksa
kita lakukan demi keselamatan revolusi kita." Isyarat Soebandrio ini
cukup jelas akan ke mana mata pedang revolusi itu diarahkan, mirip
dengan cerita Mahabarata di atas. Sayang sekali itu tidak dicermati
secara sungguh-sungguh oleh aparat kita pada waktu itu, sampai
meledaklah tragedi kemanusiaan yang dahsyat itu.
Akan halnya Ali
sebagai salah seorang tokoh PI (Perhimpunan Indonesia) di negeri Belanda
tahun 1920-an bersama Hatta, Sjahrir, Mononutu, dan lain-lain, memang
mengherankan mengapa dia sampai terseret dalam arus manipolis yang panas
dan brutal itu. Dia seorang intelektual-aktivis dengan segudang
pengalaman politik: menteri, duta besar, perdana menteri sampai dua
kali, tokoh Konferensi Asia-Afrika, dan diplomat ulung. Sayang sekali
dalam otobiografinya Tonggak-tonggak di Perjalananku yang terbit pada
1974,[13] karier politiknya yang krusial pada era DT tidak disertakan,
sehingga kita tidak tahu persis mengapa dia sampai "hanyut" dalam
gelombang yang telah membunuh demokrasi itu. Apakah Ali menganggap era
itu bukan bagian dari tonggak-tonggak perjalanannya seperti judul
karyanya itu? Masih terlalu banyak sisi gelap yang harus diungkapkan
dalam sejarah kontemporer Indonesia.
Ketika sampai kepada
komunisme, saya mungkin tidak selalu stabil karena sudah memahami benar
betapa licik dan kejamnya mereka dalam mencapai tujuan politiknya.
Apalagi kemudian mereka mendapat payung pelindung dari Bung Karno.
Tetapi yang saya gagal memahami adalah kesetiaan mereka yang tanpa batas
kepada yang serba asing, seperti terwakili oleh puisi Virga Belan di
bawah ini:
PENERBANGAN MALAM KE LENINGRAD
Dari Sochi ke daerah utara
Tidak terbentang segara
Hanya langit jingga
Dan udara malam raya.
Dan kabut tersapu di hadapan
Dan tinggallah buih di lautan
Bumi Soviet ialah pada terluas punya dunia
Dan akulah sang musafir dalam kelana.
Seorang di sampingku berkata: Leningrad
Dan Kujawab: Cukup kukenal, kamerad!
Ke sana!
Ke pusat api yang pernah menjulang dalam sejarah!
Ke sana!
Ke tempat kaum buruh menumbangkan kekuasaan durjana!
Ke Leningrad!
Ya, ke Leningrad!
Kota revolusi daerah utara: Juli 62.[14]
Lagi dari penyair Tobaga:
TAFAKUR KEPADA LENIN
Kudatangi Smolni, Gorki, Kremlin
Titik-titik pada garis hidup Lenin
Tiba-tiba kurasakan panas nafasnya
Kutangkap kerlap matanya
Kudengar getar ujarnya
-- Kata-kata tak perlu lagi
Antara mereka yang seklas dan seideologi
Lenin tegak berdegup hidup
Cemerlang pandangnya yang tak pernah redup
Telunjuknya menunjuk arah sejarah
Ke mana fajar segar indah memerah
Di mana manusia adalah manusia
Pemilik dan penguasa dunia
Lima windu ang lalu Lenin wafat
Ia manusia, bukan malaikat
Manusia biasa, sekaligus mahaluarbiasa
Karena jiwanya radar penangkap getar rasa massa
Teleskop-radio raksasa yang kepekaannya terhalus
Menampung dan memantulkan kembali terus-menerus
Tiap pancaran kearifan rakyat
Tiap degup pukulan jantung proletariat
Jasadnya terbaring di lapangan merah
Sukmanya hidup di tiap butir sel merah
Para pejuang revolusioner semua benua
Kar'na komunisme tak pernah menjadi tua
Moskow, 21.1.1964[15]
Menulis puisi romantik macam ini adalah hak bebas seorang penyair untuk
menggubahnya, tetapi pendekatan yang a-historis terhadap komunisme
adalah malapetaka yang sulit dimaafkan. Berapa puluh juta rakyat yang
harus mati di kamp-kamp maut Siberia, mengapa tidak dipertimbangkan?
Berapa ribu pula rakyat non-komunis yang dibantai di Madiun dan
sekitarnya pada tahun 1948, mengapa coba digelapkan? Ini bukan saja
pengkhianatan politik. Tetapi pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Akibat
dari ketidakjujuran pendukung komunisme sekalipun bernaung di bawah
slogan "ingin mengusir kemiskinan dari muka bumi," tetapi yang kemudian
berlaku adalah "kemiskinanlah yang akhirnya mengusir komunisme dari muka
bumi." Para penyair tampaknya telah dicuci otaknya oleh partai,
sehingga yang gelap dikatakan terang. Adapun sisa-sisa komunisme yang
masih bertahan di Cina, Vietnam, Kuba, saya rasa hanya tinggal menanti
waktu untuk digiring ke tiang gantungan sejarah, akibat kelakukannya
yang anti manusia, sekalipun kapitalisme juga bukan alternatif bagi
sebuah dunia yang adil dan ramah. Pada tahap sekarang setelah tirani
komunisme bertumbangan di berbagai pojok bumi, kapitalisme ternyata
bukanlah pilihan yang tepat bagi umat manusia karena wataknya yang tidak
hirau dengan keadilan dan perdamaian dunia. Di tangan Bush, kapitalisme
bahkan telah berubah menjadi neo-imperialisme yang sangat ekspansif.
Benarlah kritik pengarang Perancis Todd tentang Amerika sekarang:
the United States itself, which was once a protector and is now
predator."[16] Dengan catatan ini, terserahlah kepada saudara untuk
menempatkan PKI berikut para seniman dan intelektual yang mendukungnya
di Indonesia sebagai pahlawan atau pengkhianat. Ini berbeda sama sekali
dengan seorang Tan Malaka, tokoh Komintern, sewaktu diisyaratkan untuk
membungkuk kepada Stalin, karena memang telah ditanamkan dasar
perbudakan politik di lingkungan kekuasaannya, dia akhirnya ke luar dari
badan internasional itu seperti yang dikatakan Hatta: "Ia [Tan Malaka]
tidak mempunyai tulang punggung yang mudah membungkuk," apalagi
membungkuk kepada patung Lenin, bukan? Saya sangat prinsip kebebasan
manusia, termasuk kebebasan untuk tidak ber-Tuhan, tetapi saya tidak
akan pernah rela menyaksikan seorang intelektual menjadi budak politik
atau ideologi sebuah negara atau partai. Seorang Pramoedya sampai setua
ini tetap saja menilai PKI tidak salah: "Kalau militer beranggapan PKI
bersalah di mana letaknya? Peristiwa G-30-S/PKI 'kan proyek penumpasan
komunisme yang dipimpin oleh Amerika, namun secara taktik strategi
dijalankan Inggris."[18] Namun saya sangat menghargai keterusterangan
Pramoedya untuk bergabung dengan Lekra, sebagaimana terbaca dalam
kutipan berikut: "Saya meninggalkan liberalisme itu setelah bergaul
dengan seniman-seniman Lekra, sekalipun prosesnya memakan waktu yang
lama, tidak kurang dari tujuh tahun."
Intelektual modern
Indonesia: antara pengkhianat dan pahlawan Bila kita memasuki periode
paska Demokrasi Terpimipin sejak 1966 sampai sekarang - biasa disebut
sebagai era Demokrasi Pancasila dan era Reformasi - masih tepatkah kita
menggunakan istilah pengkhianatan intelektual untuk mereka yang
bergabung dengan sistem-sitem yang baru ini? Kita sudah mengenal
Demokrasi Liberal (1950-1957) dimana kebebasan intelektual sangat
terjamin. Kemudian digantikan oleh Demokrasi Terpimpin (1959-1966), di
mana yang bebas hanya seorang, yaitu Pemimpin Besar Revolusi dan politik
adalah panglima. Setelah sistem ini tumbang, bermulalah sistem
Demokrasi Pancasila (1966-1998), dimana pembangunan ekonomi yang menjadi
panglima, sekalipun tidak dikatakan demikian. Pada periode panjang ini,
di tahun-tahun awal hampir seluruh kekuatan anti-otoritarianisme,
termasuk kekuatan intelektual berada di belakang, dan bahkan menyertai
sistem Orde Baru itu. Terlalu besar harapan kita itu bahwa nasib bangsa
ini akan semakin membaik di tangan pimpinan aliansi militer-teknokrat
plus ekonom alumni Amerika. Inflasi yang pada 1967 telah mencapai 650%
dengan pendapatan per kepala sekitar $70, secara berangsur dapat
ditekan. Modal luar negeri diundang masuk secara bebas untuk menolong
Indonesia yang sedang terkapar. Sampai kira-kira awal 1980-an, sekalipun
kebebasan dibelenggu, kehidupan rakyat umum relatif tidak sengsara,
jika dibandingkan dengan periode sebelumnya yang sangat menderita.
Pertumbuhan ekonomi bergerak sampai 7%. Tetapi memang setelah kongsi
Nasution-Soeharto pecah sejak 1968, perlawanan terhadap rejim mulai
terasa, tetapi lemah sekali. Nasution sendiri bahkan dikarantina secara
diam-diam selama lebih dari dua dasa warsa, padahal di awal Orde Baru
Nasution-lah yang mempromosikan Soeharto untuk menggantikan Soekarno.
Karena kondisi ekonomi relative terus membaik, pasungan politik
terhadap mereka yang ingin kebebasan tidak terlalu dihiraukan. Inilah
salah satu alasan mengapa Orde Baru bertahan lama sekali. Sekiranya
angin limbubu krisis moneter tidak terjadi, siapa tahu Orde Baru yang
represif itu masih bertahan sampai sekarang. Yang risau dengan
pemasungan ekspresi hanyalah kaum intelektual yang berhati nurani,
sedangkan rakyat umumnya tidak terlalu banyak tuntutan. Bukankah amnesia
(mudah lupa) sudah merupakan bagian dari sikap kultur kita sejak lama?
Tetapi dengan masuknya keluarga istana ke dalam dunia bisnis pada
1980-an, proses pembusukan bangsa telah semakin terasa, tetapi tentara
tidak bergeming dalam membela rejim yang ternyata sangat korup itu,
karena mereka memang bagian yang menyatu dengan sistem itu. Seorang
wartawan-intelektual Mochtar Lubis mungkin adalah di antara yang paling
idealis dan berterus terang kepada bangsa, baik pada periode DT ataupun
periode Orde Baru. Risikonya adalah dia menjadi langganan penjara
bertahun-tahun atau korannya diberangus di bawah kedua rejim itu. Jadi
dari segi kekbebasan, baik DT maupun Orde Baru tidak banyak bedanya.
Keduanya anti kebebasan, keduanya sama mengembangkan sistem politik semi
feodal atas nama Pancasila. Nilai luhur Pancasila telah dikhianati.
Selain Mochtar Lubis, Rosihan Anwar dan W.S. Rendra juga patut dicatat
sebagai sastrawan-intelektual yang tetap konsisten dalam perlawanannya
untuk menentang kekuatan penindas kebebasan manusia dengan caranya
masing-masing.
Karena tidak terjadi tragedi berdarah yang terlalu
menggemparkan selama Orde Baru dan era Reformasi dibandingkan dengan
G-30-S/PKI di akhir DT, untuk menentukan siapa pengkhianat atau pahlawan
saya mengalami kesulitan. Mungkin formulasinya kita buat saja begini:
Siapa saja yang telah berkubang dalam dosa dan dusta yang menyebabkan
bangsa ini menjadi rusak dan terpuruk sampai batas yang sangat jauh,
sesungguhnya adalah pengkhianat dalam arti yang umum. Sudah tentu
kualitas kerusakan yang ditimbulkannya tidak sama antara seseorang
dengan yang lain. Tidak peduli pejabat, intelektual, ulama, pemimpin
agama, pelaku bisnis yang main kongkalikong, pada hakekatnya adalah
pengkhianat terhadap cita-cita roklamasi menurut kadarnya masing-masing.
Begitu juga mereka yang sengaja atau tidak sengaja telah menjual
kedaulatan bangsa kepada pihak asing, tetapi yang sulit ditangkap oleh
radar rakyat banyak, berada dalam kategori pengkhianat itu. Tentu yang
paling bertanggung jawab terhadap terjadinya proses pembusukan bangsa
dan negara ini adalah pemimpin formal, karena di tangan merekalah
kekuasaan tertinggi itu berada.
Bagi saya, masalah Indonesia
sejak kita merdeka sebenarnya adalah masalah kepemimpinan yang tidak
atau kurang bertanggung jawab untuk mengisi kemerdekaan, atau bangsa ini
terlalu luas dan besar untuk dipimpin oleh anaknya sendiri? Rakyat
Indonesia umumnya cukup patuh bila pemimpinnya dapat diteladani.
Keteladanan inilah yang semakin sunyi dari waktu ke waktu. Jika kita
memang tidak mampu mengurus negara yang elok ini, saya pernah
mengusulkan agar tidak malu-malu meminjam tenaga bangsa lain untuk
membantu kita, termasuk untuk dijadikan presiden. Jelas, usul semacam
ini gila, tetapi kadang-kadang saya rasanya telah kehabisan kosa-kata
untuk bertutur, sebab "yang lumpuh adalah akal sehat; yang lumpuh adalah
hati nurani." Di atas dikatakan Pancasila telah dijadikan payung
embenar terhadap politik salah tingkah selama sistem otoritarian
diberlakukan di Indonesia. Kebobrokan dan kewenang-wenangan penguasa
juga berlindung di bawah Pancasila yang ditafsirkan secara mutlak.
Penataran P4 selama sekian tahun pada masa Orde Baru adalah metode
sistematis untuk melumpuhkan tafsiran ini yang mungkin lebih benar,
jujur, dan konstruktif tentang Pancasila. Kutipan panjang dari rumusan
Daniel Dhakidae di bawah ini sedikit banyak akan lebih menjelaskan
situasi yang kita maksud.
Tafsiran mutlak terhadap Pancasila
bukan untuk menemukan kebenaran akan tetapi untuk mencapai 'monopoli
kebenaran dan karena itu kekuasaan. Sekali mencapai status sebagai
pemegang 'monopoli kebenaran' maka Pancasila harus ditempatkan sebagai
suatu makhluk sendiri yang tidak terlibat dalam bentuk apapun di dalam
proses sosial dan politik dan ekonomi masyarakat ini sehingga Pancasila
di sini menjadi der absolute Geirst [ruh mutlak] dalam pengertian
Hegelian. Dalam dunia nyata semuanya lebih mencerminkan ironi bagi
dirinya. Makin bengis makin Pancasilais, makin diktatorial makin
Pancasilais. Pancasila menjadi diskursus politik di dalam prakter mejadi
raison d'etat tempat Negara mengekspresikan kekuasaan tempat seorang
mengutuk orang lain lagi, kelompok menggagahi kelompok lain. Pancasila
dengan demikian sinonim dengan 'kebenaran' yang tidak lain dari
sejatining becik yang dipakai untuk mencapai kasampurnaning atau
sebaliknya kasampurnaning hurip ketika menjadi sejatining becik dan
Pancasila menjadi agama negara. Dengan itu pula Pancasila mengangkangi
agama-agama.
Di beberapa forum saya sering mengatakan tentang
tragedi Pancasila. Dalam kata Pancasila dimuliakan, jika bukan
diberhalakan, tetapi dalam laku ia dikhianati. Inilah yang berlaku
selama lebih 60 tahun kita merdeka. Kalau pada periode yang lalu
demokrasi pun diberi nama Demokrasi Pancasila, tetapi berakhir dengan
malapetaka ekonomi yang teramat parah. Sila ke-5 berupa "keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia," tidak semakin mendekat, malah semakin
menjauh. Dari sisi kebudayaan, rasanya bangsa ini telah berada di jalan
buntu (cultural impasse), sementara sebagian politisi dan anggota DPR
kita sibuk mencari proyek pada berbagai departemen, di samping merangkap
sebagai calo. Sungguh malang nasib bangsa ini. Dia dibunuh secara
pelan-pelan oleh anak-anaknya sendiri. Oleh sebab itu perlu terobosan
radikal. Bagaimana bentuknya, saya belum bisa merumuskan. Saya berharap
para budayawan, intelektual, sejarawan, tokoh agama, mau duduk bersama
dalam upaya menembus jalan buntu ini. Tampaknya pendapat yang ingin
mendesain kembali Indonesia perlu dipertimbangkan.
Kalau kondisi
buruk ini masih saja berlanjut di era Reformasi ini, maka kita tidak
perlu lagi mencari siapa pengkhianat sebenarnya. Lebih baik kita akui
bahwa kita semua pengkhianat, tidak terkecuali kaum intelektual. Dalam
Pemilu 2004 beberapa intelektual kita, bahkan ada yang menyandang gelar
Ph.D, tertarik pula untuk terjun ke politik praktis, mungkin dengan
tujuan mulia, tetapi buah yang diraih adalah partai 0%. Tentu itu bukan
pengkhianatan, hanya libido politik yang memang merangsang.
Penutup
Akhirnya saya harus mohon maaf atas segala kelancangan yang telah
membidik beberapa sasaran yang mungkin tidak tepat. Boleh jadi yang
dibidik itu sesungguhnya pahlawan, tetapi saya telah menempatkannya pada
posisi yang lain. Sekali lagi saya mohon maaf. Masa lampau dapat dan
memang harus kita maafkan, demi keutuhan dan persaudaraan sebangsa,
sekali pun tidak bisa dihapus dari memori kolektif kita