0
Jayapura - Kebanyakan orang menganggap kekerasan hanya dalam konteks yang sempit, yakni seperti perang, pembunuhan atau kekacauan, padahal kekerasaan itu bentuknya bermacam-macam. Fenomenya yang dapat dikategorikan dalam kekerasaan seperti ini banyak sekali jumblahnya. Jika orang beranggapan bahwa setiap tindakan yang mengganggu fisik atau kondisi psikologis seseorang adalah satu bentuk kekerasaan, maka rasisme, polusi atau kemiskinan dapat juga dianggap sebagai kekerasan.

Kekerasan dalam pembicaraan kita ini merupakan tindakan yang harus dihindari yang menyebabkan pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia dalam pengertian yang luas, atau pelanggaran yang menghalangi manusia memenuhi kebutuhan dasarnya. Pada prinsipnya bahwa setiap hak azasi manusia untuk mencukupi kebutuhan dasarnya harus dilindungi secara resmi. Hal ini berarti kekerasan tersebut mencakup kekerasan aksidental dan juga kekerasan structural yang inheren dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, diskriminasi hukum untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat di Papua), atau dalam suatu kehidupan masyarakat pada umumnya dimana saja.

Kini jika kita menjau kekerasan di Papua, khususnya konflik berdarah di Nduga yang awal mulanya pada tanggal 02 Desember 2018, diamana terjadi Kontak senjata antara TNI-POLRI dan TPNPB di Nduga Papua yang mengakibatkan terbunuhnya para pekerja Istaka Karya 16 orang, dengan status jelas adalah aparat TNI-POLRI. Kejadian ini pula mengakibatkan operasi Militer Indonesia besar-besaran di Nduga, yang mengakibatkan adanya terror, intimidasi, penembakan brutal, pengeboman lewat udarah, pembakaran honai (rumah warga) dimana-mana, pembakaran fasilitas umum, penghancuran rumah dan kantor-kantor (bangunan kantor distrik, puskesmas, gereja, sekolah dan rumah-rumah guru). Operasi sadar yang dilakukan oleh Aparat TNI-POLRI ini menimbulkan Tragedi Kemanusiaan di Nduga karena rakyat sipillah yang menjadi korbannya, bukan TPNPB. Dan tanpa disadari, ini adalah penindasan manusa Nduga yang sangat tidak manusiawi oleh system pendekatan hukum degara lewat aparat Militer Indonesia yang bisa dibilang telah melakukan pelanggaran HAM Berat (Pembunuhan Manusia), terror dan intimidasi secara langsung kepada masyarakat Nduga, Papua.

Jika kita melihat kekerasan tragedi berdara Nduga semenjeak 04 Desember 2018 hingga 2020 ini, mala konfliknya berkaitan dengan kekerasan kepada semua kategori kesiapa orangnya, dan siapa yang bertanggung jawab, apakah individu, kelompok, institusi, Negara atau masyarakat secara keseluruhan, karena konflik ini patutut dipertanyakan. Dari peristiwa kekerasan kemanusiaan di Nduga, dapat kita tinjau secara arafia ada empat jenis kekerasan pokok yang dapat kita kaji, yakni kekerasan langsung, kekerasan tak langsung, kekerasan represif, dan kekerasan alienatif.

KEKERASAN LANGSUNG

Kekerasan langsung mengacu pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis seseorang secara langsung. Yang termasuk dalam kategori ini adalah semua bentuk pembunuhan (homicide), seperti pemusnahan etnis, kejahatan perang, pembunuhan massal, dan juga semua bentuk tindakan paksa atau brutal yang menyebabkan penderitaan fisik atau psikologis seseorang (pengusiran paksa terhadap suatu masyarakat, penculikan, penyiksaan, pemerkosaan dan penganiayaan). Semua tindakan tersebut merupakan tindakan yang tidak benar yang mengganggu hak-hak azasi manusia yang paling mendasar, yakni hak untuk hidup. (Jalmi Salmi, Hal 21)
Bentuk kekerasan langsung inilah yang dirasakan secara nyata oleh masyarakat sipil di Nduga ketiga terjadi pengiriman TNI-POLRI secara massif, diamana kekerasan tersebut telah mengakibatkan trauma psikologis yang mendalam (memoria pasionis) di setiap hati rakyat Nduga. Hal ini dimana Konflik Nduga telah mengakibatkan korban rakyat sipil secara fisik maupun psikis, dimana mereka diteror, di intimidasi, dibunuh akibat kebutralan aparat yang tidak pada sasarannya untuk memburuh TPNP-BP, malah rakyat sipillah yang menjadi korban.
Berdasarkan fakta yang dicatat Markus Haluk (Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua) pada Bab 5, Kekerasan dan Pengungsi Pasca Insiden, terbukti operasi awal aparat gabungan TNI-POLRI pada 04 Desember 2018 telah mengakibatkan 10 orang rakyat sipil mati oleh peluruh aparat, 6 orang rakyat sipil mengalami luka-luka tembak, 3 anak dibawah balita meninggal ketiga terjadi pengungsian oleh rakyat sipil saat itu, dan 5 orang rakyat sipil korban orang hilang. Dan terhitung hingga saat ini, berdasarkan laporan TIM Investigasi maupun aktivis kemanusiaan (Veronika Koman) sudah tercatat 243 orang rakyat sipil telah meninggal akibat konflik berkepanjangan ini, dan sama sekali belum terhitung dengan korban diluar pendataan yang belum tercatat oleh TIM Investigasi.

KEKERASAN TAK LANGSUNG

Kekerasan tak langsung adalah tindakan yang membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang sampai membunuh, namun tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak (orang, masyarakat atau institusi) yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan tersebut. Di sini terdapat dua sub kategori yang perlu dibedakan, yakni kekerasan karena kelalaian dan kekerasan perantara. (Jalmi Salmi, Hal 22)
Dari kekerasan tak langsung ini, jelas-jelas ada pada Pemerintah Indonesia, baik itu Presiden Joko Widodo, DPR-RI, KAPOLRI, PANGLIMA TNI, dan GUBERNUR PAPUA. Hal ini dimana adanya pembiaran penegak hukum dan perlindungan kemanusiaan terhadap rakyat sipil Nduga yang terus berjatuhan dan menjadi korban dibalik konflik Nduga berdarah ini. Pemerintah Indonesia masih terlihat masa bodoh dengan korban kekerasan rakyat sipil akibat represitas aparat TNI-POLRI di Nduga, dan malah terus melakukan pengiriman Aparat yang begitu banyak jumblahnya ke Nduga.
Sampai saat ini hukum di Indonesia untuk memberi rasa aman dan perlindungan HAM bagi masyarakat sipil di Nduga terkesan sangat diskriminatif perlakuannya. Indonesia masih main tangan besi ketika meresponi konflik Nduga tersebut, yang sama halnya pada perlakuan rezim Orde Baru di Tanah Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Jika kita melihat kedaulatan Negara Indonesia yang sebagai Negara hukum, sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (3), UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Indonesia adalah Negara hukum”, maka Indonesia secara kenegaraan memiliki kewajiban untuk melindungi HAM warga Negara termasuk masyarakat sipil di Nduga

Pada pasal 2, UU Nomor 39 Tahun 1999 yang berbunyi bahwa “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan”. Maka atas dasar asas tersebut, mestinya sikap Pemerintah Kabupaten Nduga, Pemerintah Propinsi Papua dan Pemerintah Pusat dapat memberi rasa aman, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia sebagai tanggung jawab Negara. Tapi kenyataan hingga saat ini, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi sedang mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sesuai ketentuan: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia” (Pasal 71, UU No 39 Tahun 1999).

KEKERASAN REPRESIF

Kekerasan represif berkaita dengan pencabutan hak-hak dasar selain hak untuk hidup dan hak untuk dilindungi dari kecelakaan. Oleh karena itu, di dalamnya termasuk pelanggaran hak-hak azasi manusia yang, meskipun secara langsung atau tidak langsung tidak membahayakan kehidupan manusia, merupakan pelanggaran berat dalam mengekang kebebasan, martabat manusia dan kesamaan hak bagi setiap manusia. Kekerasan represif terkati dengan tiga hak sipil yang pokok adalah kebebasan berpikir dan beragama, kebebasan bergerak, privasi, kesamaan di depan hukum dan hak untuk berusaha secara adil. Hak-hak politik mengacu pada tingkat partisipasi masyarakat secara demokratis dalam kehidupan politik di suatu daerah atau Negara (hak untuk bersuara, mengikuti pemilihan umum, kebebasan berkumpul dan berorganisasi atau partai, kebebasan berbicara dan berpendapat, dan kebebasan pers). Sedangkan jaminan terhadap hak-hak social diberikan untuk melindungi kekerasan represif yang paling sering terjadi yakni larangan untuk menciptakan atau memiliki serikat buruh, atau larangan untuk mogok. (Jalmi Salmi, Hal 38)

Kekerasan represif secara nyata terjadi tanpa adanya keberpihakan ruang demokrasi bagi rakyat sipil di Nduga untuk bebas secara akses social, politik, dan ekonomi. Hal ini dimana konflik tersebut telah mengakibatkan 2 tahun rakyat Nduga melakukan Natal di Pengungsian, melakukan Natal dengan tangsian dan ketakutan. Belum lagi pendidikan yang lumpuh total, yang mengakibatkan 7000an lebih pelajar SD-SMU tidak mendapat akses pelayanan yang layak sebagaimana mestinya di belahan Papua atau di Indonesia lainnya. Setiap aksi protes atau meminta bela suaka, malah semuanya dibatasi oleh aparat TNI-POLRI secara menyeluruh di Indonesia, Papua dan Nduga itu sendiri. Hal ini benar-benar kekerasan represif terhadap rakyat Nduga yang kejam oleh pendekatan aparat TNI-POLRI bagi rakyat sipil di Nduga karena semua gerak masyarakat Nduga di pantau secara pendekatan represitas aparat.

KEKERASAN ALIENATIF

Kekerasan alienatif merujuk pada pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak perkembangan emosional, budaya atau intelektual. Pentingnya mendefinisikan dan memasukkan hak-hak azasi manusia di Nduga yang demikian ke dalam jenis kekerasan alienatif ini adalah untuk menegaskan bahwa keberadaan manusia juga membutuhkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan non materi. (Jalmi Salmi, Hal 38)
Kekerasan alienatif di Nduga sangat terlihat jelas dimana terjadi pengungsiaan besar-besaran, kuranglebih diatas 12 distrik dengan jublah penduduk 40.000an orang telah melakukan pengungsian ke beberapa kabupaten terdekat seperti di Kabupaten Timika, Wamena dan Jayapura. Sedangkan sebagiannya lagi tinggal di hutan-hutan belantara. Ini merupakan kekerasan alienatif yang kejam karena sampai pada saat ini mereka hidup terlantar di pengungisan, ada yang sakit, lapar, dan hidup dalam penderitaan seakan mereka tidak punya rumah atau tanah yang menjamin kehidupan mereka untuk hidup berkelangsungan sebagaimana di pemukian daerah Papua atau Indonesia lainnya.
Pengungisan juga mengakibatkan beberapa ibu hamil melahirkan di hutan tanpa pelayanan kesehatan, belum lagi pertumbuhan emosional anak atau masyarakat yang tidak stabil karena mengalami traumatic berkepanjangan tanpa ada pendekatan rekonsiliasi yang terjamah oleh pendekatan Negara atau Agama dan Masyarakat Papua lainnya, yang dikarenakan Masyarakat Nduga ada dalam pantauan Aparat TNI-Polri. Ini adalah bentuk kekerasan manusia yang kejam secara tidak manusiawi bagi masyarakat Nduga.

TANGGAPAN PRIBADI

Dalam situasi krisis kemanusiaan yang sangat serius ini, pemerintah Papua dan Pemerintah Pusat hanya sibuk dengan membahas DOB (Pemekaran Provinsi dan Kabupaten Baru di Papua). Bahkan yang menjadi trending topik adalah rekrutmen relawan untuk mensukseskan PON XX 2020 di Papua, yang dikerjakan oleh KNPI dengan dana yang sangat besar sampai setiap orang relawan digaji jutaan Per- bulan. Bagi saya ini adalah pengalian isu oleh Negara Indonesia untuk melupahkan, menghilangkan dan membiarkan isu tragedi berdarah Nduga - Papua tetap dalam kekejaman (Pembunuhan Manusia) Pelanggaran HAM berat oleh pendekatan aparat TNI-POLRI tanpa ada solusi kemanusiaan bagi keselamatan masyarakat Nduga .
Sebelum memasuki PON XX 2020 yang sama sekali tidak ada maanfaatnya bagi Masyarakat Papua, mari kita refleksikan sejenak Tragedi Kemanusiaan yang terjadi di Nduga semenjak tanggal 04 Desember 2018 hingga kini. Kiranya pemerintah Papua dan seluruh masyarakat Papua harus sadar bahwa rakyat papua, khususnya masyarakat Nduga telah menjadi pengungsi diatas tanahnya sendiri dan telah menjadi korban pembunuhan dari kebiadaban (klonialisme) pendekatan militer Indonesia, yang telah mengakibatkan 243 jiwa rakyat Nduga meninggal dunia dan ribuan rakyat Nduga mengungsi selama setahun lebih.
Perlunya kita sebagai Rakyat Papua baik itu Pemerintah, LSM, Agama, Akar Rumput, Gerakan (GMKI, PMKRI, HMI, DLL), Pelajar dan Mahasiswa, maupun juga lembaga hukum Indonesia dan Internasional harus menekan kepada Pemerintah Indonesia (Pusat) agar segerah membuka akses jurnalistik nasional dan internasional di Nduga, dan melakukan suatu tindakan hukum yang kongkrit untuk menyelesaikan kasus tragedi kemanusiaan ini. Sebab kalau tidak maka masyarakat Nduga akan punah dengan sendirinya.
Saran kongkrit saya kepada pemerintah Papua dan seluruh elemen-sosial masyarakat yang penuli kepada Tragedi Kemanusiaan Nduga agar segera meminta Bapak Presiden Joko Widodo untuk menarik seluruh operasi aparat TNI-POLRI yang ada di Nduga, baik itu pasukan organik maupun non organik sebagai solusi kongkrit penyelesaian masalah kemanusiaan ini.


*Referensi Tulisan:
- Diskusi Mahasiswa Nduga Jayapura, awal Maret 2020
- Buku Markus Haluk, Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua;
- Buku Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme: Pendekatan Baru dalam Meilihat Hak-hak Azasi Manusia

Ditulis Oleh Oskar H. Gie
(Mahasiswa Exodus dari Jawa Tengah)

Post a Comment

 
Top