Oleh: Frans Huby
wenepapua.com - Pendekatan ekonomi-politik borjuis mengisolasi setiap fenomena sosial dari corak produksi (mode of production). Bedanya, ekonomi-politik Marxian mensyaratkan penjelasan tentang setiap fenomena dalam kerangka logik kekhususan sejarah corak produksi tertentu.
Untuk menjelaskan fenomena apapun, kita tidak boleh memisahkannya dari kapitalisme, sebuah sistem eksploitasi global, sebagai corak produksi dominan saat ini.
Ruh dari corak produksi kapitalisme adalah akumulasi modal (capital accumulation). Disebut ruh, karena akumulasi merupakan suatu keniscayaan dalam sistem ini. Tidak ada kapitalisme tanpa akumulasi. Akumulasi sendiri berarti proses pembesaran modal, hasil dari keharusan rekonversi nilai-lebih menjadi modal, yang berlangsung tanpa henti dan skala yang terus meningkat. Kosakata lebih teknis dari rekonversi nilai-lebih menjadi modal adalah reinvestasi profit demi perluasan atau ekspansi bisnis, sehingga modal kian menumpuk. Dengan frasa “akumulasi demi akumulasi, produksi demi produksi” (accumulation for the sake of accumulation, production for the sake of production), Karl Marx ingin mengisyaratkan bahwa tugas kesejarahan kelas kapitalis adalah akumulasi modal tanpa jeda.[1] Akumulasi merupakan hukum yang mengatur perilaku semua kelas kapitalis. Akumulasi merupakan keharusan pasar (market imperative),[2] yang mendikte kelas kapitalis dan bahkan semua bentuk hubungan-hubungan sosial. Buah akumulasi adalah monopoli penguasaan kelas kapitalis atas alat-alat produksi (tanah dan kekayaan di atas dan di bawah tanah, gedung, mesin dan peralatan, infrastruktur, dll) dan kontrol efektif terhadap tenaga kerja.
Akumulasi memiliki dua aspek yang tidak terpisah, konsentrasi dan sentralisasi modal.[3] Konsentrasi mengandung arti penumpukan modal dalam jumlah besar di tangan segelintir individu-individu kapital (perusahaan-perusahaan) yang kuat. Tetapi, penumpukan ini merupakan buah dari proses gradual investasi dan reinvestasi profit yang dilakukan oleh individu-individu kapital. Investasi dan reinvestasi profit berarti pengembangan atau perluasan skala bisnis dengan membeli lagi alat-alat produksi (mesin, peralatan, gedung, infrastruktur, tanah) dan tenaga kerja yang baru. Karena profit bersumber dari penghisapan buruh, maka konsentrasi merupakan hasil dari penghisapan secara berulang[4].
Sentralisasi adalah proses yang menyatukan berbagai individu kapital – dengan semua sumber daya produksi yang ada – ke dalam genggaman satu tangan yang kuat. Perusahaan yang lebih kuat mengambil alih perusahaan yang lebih lemah. Pinjaman atau kredit dari institusi-institusi keuangan dan penguasaan saham melalui pasar modal mengambil peran penting dalam proses pengambil-alihan. Merger dan akuisisi menggambarkan proses sentralisasi. Cara berbeda, tetapi konsentrasi dan sentralisasi memiliki hasil yang sama. Otot perusahaan menguat. Indikasinya, skala bisnis mengembang karena perluasan kontrol atas alat-alat produksi (tanah, deposit mineral, gedung, mesin & peralatan, bahan baku, dsb), tenaga kerja, dan komoditas yang dihasilkan.
Sebagai sistem global, kapitalisme selalui ditandai dengan akumulasi dunia. Artinya, proses konsetrasi dan sentralisasi selalu berlangsung lintas batas Negara.
Dalam konteks ini, motor utama akumulasi global adalah perusahaan-perusahaan yang monopolistik, yakni yang keluar menjadi pemenang dalam proses konsentrasi dan sentralisasi. Para pemenang ini adalah perusahaan-perusahaan transnasional (transnational corporations, TNCs) yang beroperasi lintas batas negara. Dalam pembagian kerja secara internasional, TNCs tumbuh dan berkembang di negeri-negeri kapitalis maju yang merupakan lokasi geografis pusat keuangan, teknologi, dan penelitian dan pengembangan. Ekspansi geografis ke belahan dunia lain, terutama ke negeri-negeri Selatan yang dicirikan oleh upah murah dan sumber utama bahan baku, dilakukan melalui “ekspor kapital” atau dalam bahasa lebih populer investasi asing langsung (foreign direct investment, FDI). Negara-negara kapitalis maju dari Utara dan institusi-institusi multilateral yang dikuasainya mendukung habis-habisan – baik dengan cara-cara keras (penggunaan kekuatan militer) maupun dengan cara-cara lunak (diplomasi injak kaki) – ekspansi tersebut. Kita menyebut fenomena ini sebagai imperialisme. Jadi, akumulasi global adalah cermin imperialisme.
wenepapua.com - Pendekatan ekonomi-politik borjuis mengisolasi setiap fenomena sosial dari corak produksi (mode of production). Bedanya, ekonomi-politik Marxian mensyaratkan penjelasan tentang setiap fenomena dalam kerangka logik kekhususan sejarah corak produksi tertentu.
Untuk menjelaskan fenomena apapun, kita tidak boleh memisahkannya dari kapitalisme, sebuah sistem eksploitasi global, sebagai corak produksi dominan saat ini.
Ruh dari corak produksi kapitalisme adalah akumulasi modal (capital accumulation). Disebut ruh, karena akumulasi merupakan suatu keniscayaan dalam sistem ini. Tidak ada kapitalisme tanpa akumulasi. Akumulasi sendiri berarti proses pembesaran modal, hasil dari keharusan rekonversi nilai-lebih menjadi modal, yang berlangsung tanpa henti dan skala yang terus meningkat. Kosakata lebih teknis dari rekonversi nilai-lebih menjadi modal adalah reinvestasi profit demi perluasan atau ekspansi bisnis, sehingga modal kian menumpuk. Dengan frasa “akumulasi demi akumulasi, produksi demi produksi” (accumulation for the sake of accumulation, production for the sake of production), Karl Marx ingin mengisyaratkan bahwa tugas kesejarahan kelas kapitalis adalah akumulasi modal tanpa jeda.[1] Akumulasi merupakan hukum yang mengatur perilaku semua kelas kapitalis. Akumulasi merupakan keharusan pasar (market imperative),[2] yang mendikte kelas kapitalis dan bahkan semua bentuk hubungan-hubungan sosial. Buah akumulasi adalah monopoli penguasaan kelas kapitalis atas alat-alat produksi (tanah dan kekayaan di atas dan di bawah tanah, gedung, mesin dan peralatan, infrastruktur, dll) dan kontrol efektif terhadap tenaga kerja.
Akumulasi memiliki dua aspek yang tidak terpisah, konsentrasi dan sentralisasi modal.[3] Konsentrasi mengandung arti penumpukan modal dalam jumlah besar di tangan segelintir individu-individu kapital (perusahaan-perusahaan) yang kuat. Tetapi, penumpukan ini merupakan buah dari proses gradual investasi dan reinvestasi profit yang dilakukan oleh individu-individu kapital. Investasi dan reinvestasi profit berarti pengembangan atau perluasan skala bisnis dengan membeli lagi alat-alat produksi (mesin, peralatan, gedung, infrastruktur, tanah) dan tenaga kerja yang baru. Karena profit bersumber dari penghisapan buruh, maka konsentrasi merupakan hasil dari penghisapan secara berulang[4].
Sentralisasi adalah proses yang menyatukan berbagai individu kapital – dengan semua sumber daya produksi yang ada – ke dalam genggaman satu tangan yang kuat. Perusahaan yang lebih kuat mengambil alih perusahaan yang lebih lemah. Pinjaman atau kredit dari institusi-institusi keuangan dan penguasaan saham melalui pasar modal mengambil peran penting dalam proses pengambil-alihan. Merger dan akuisisi menggambarkan proses sentralisasi. Cara berbeda, tetapi konsentrasi dan sentralisasi memiliki hasil yang sama. Otot perusahaan menguat. Indikasinya, skala bisnis mengembang karena perluasan kontrol atas alat-alat produksi (tanah, deposit mineral, gedung, mesin & peralatan, bahan baku, dsb), tenaga kerja, dan komoditas yang dihasilkan.
Sebagai sistem global, kapitalisme selalui ditandai dengan akumulasi dunia. Artinya, proses konsetrasi dan sentralisasi selalu berlangsung lintas batas Negara.
Dalam konteks ini, motor utama akumulasi global adalah perusahaan-perusahaan yang monopolistik, yakni yang keluar menjadi pemenang dalam proses konsentrasi dan sentralisasi. Para pemenang ini adalah perusahaan-perusahaan transnasional (transnational corporations, TNCs) yang beroperasi lintas batas negara. Dalam pembagian kerja secara internasional, TNCs tumbuh dan berkembang di negeri-negeri kapitalis maju yang merupakan lokasi geografis pusat keuangan, teknologi, dan penelitian dan pengembangan. Ekspansi geografis ke belahan dunia lain, terutama ke negeri-negeri Selatan yang dicirikan oleh upah murah dan sumber utama bahan baku, dilakukan melalui “ekspor kapital” atau dalam bahasa lebih populer investasi asing langsung (foreign direct investment, FDI). Negara-negara kapitalis maju dari Utara dan institusi-institusi multilateral yang dikuasainya mendukung habis-habisan – baik dengan cara-cara keras (penggunaan kekuatan militer) maupun dengan cara-cara lunak (diplomasi injak kaki) – ekspansi tersebut. Kita menyebut fenomena ini sebagai imperialisme. Jadi, akumulasi global adalah cermin imperialisme.
Penulis adalah Aktivis Papua merdeka
Post a Comment